Jumat, 01 Mei 2015

Aspek Hukum Dalam Ekonomi

A.  A.   ASAS-ASAS PERJANJIAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Dalam membuat suatu perjanjian tentunya kita juga harus memperhatikan asas-asas yang ada pada perjanjian tersebut. Hukum Perjanjian Indonesia mengenal 5 asas penting yang biasa digunakan, yaitu antara lain:
1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1338 KUHPrdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a.       membuat atau tidak membuat perjanjian;
b.      mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c.       menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
d.      menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
2. Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3.  Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.  Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer
AboutPeraturan



B.   Apa Yang Dinamakan “Konsensualisme” Itu ?
Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai persesuaian kehendak, artinya : apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya: “setuju”, “accord”, “oke” dan lain-lain sebagainyaataupun dengan bersama-sama manaruh tanda tangan dibawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.
Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka adalah “sama”, sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah “sama dalam kebalikannya”, misalnya : yang satu ingin melepaskan hak miliknya atas suatu barang  asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya, sedangkan yanglain ingin memperoleh hak milik atas barang tersebut dan bersedia memberikan sejumlah uang yang dosebutkan itu sebagai gantinya kepada pemilik barang.
Dari mana dapat kita ketahui atau kita simpulkan bahwa hukum perjanjian B.W. menganut asas konsensualise itu? Menurut pendapat kami, asas tersebut harus kita simpulkan dari pasal 1320, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari pasal 1338 (1) sepertidiajarkan oleh beberapa penulis. Bahkan oleh pasal 1338 (1) yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang.
Pengecualian “Asas Konsensual”
Ada yang dinamakan perjanjian-perjanjian “ formal” atau pula yang dinamakan perjanjian “riil” itu merupakan kekecualian. Perjanjian formal adalah misalnya perjanjian “perdamaian” yang menurut pasal 1851 (2) B.W. harus diadakan secara tertulis (kalau tidak maka ia tidak sah), sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian “pinjam-pakai” yang menurut pasal 1740 baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi obyeknya atau perjanjian “penitipan” yang menurut pasal 1694 baru terjadi dengan diserahkannya barang yang dititipkan. Untuk perjanjian-perjanjian ini tidak cukup dengan adanya sepakat saja, tetapi disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata (riil).
Sudah jelaslah kiranya bahwa asas konsensualisme itu kita simpulkan dari pasal 1320 dan bukannya dari pasal 1338 (1). Dari pasal yang terakhir ini lajimnya disimpulkan suatu asas lain dari hukum perjanjian B.W., yaitu adanya atau dianutnya sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid). Adapun cara menyimpulkannya ialah dengan jalan menekankan pada perkataan “ semuanya” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”. Dikatakan bahwa pasal 1338 (1) itu seolah-oleh membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ ketertiban dan kesusilaan umum”.
Kesepakatan berarti kesesuaian kehendak. Namun kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan didalam hati tidak mungkin deketahui pihak lain dan karenanya tidak mugkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkanperkataan-perkataan , ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik olehpihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang “menawarkan” (melakukan “offerte”) maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut.

C.    PACTA SUNT SERVANDA

Pacta Sunt Servanda (aggrements must be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa “setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith” (setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik)[1].

Pacta sunt Servanda pertama kali diperkenalkan oleh Grotius yang kemudian mencari dasar pada sebuah hukum perikatan dengan mengambil pronsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat. Bahwa seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi janji tersebut (promissorum implendorum obligati).

Menurut Grotius, asas pacta sunt servanda ini timbul dari premis bahwa kontrak secara alamiah dan sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan[2], yaitu :
1.            Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan
2.            Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu memilik hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak.



Sumber :





Rabu, 01 April 2015

Aspek hukum dalam ekonomi (contoh kasus)

Contoh Kasus Penyelesaian Sengketa Ekonomi secara Negosiasi 
Negosiasi adalah negosiasi selalu melibatkan dua orang atau lebih yang saling berinteraksi, mencari suatu kesepakatan kedua belah pihak dan mencapai tujuan yang dikehendaki bersama yang terlibat dalam negosiasi.

Contoh Kasus :
PT Sara Lee Indonesia, perusahaan besar yang bergerak di consumer product, diguncang masalah dengan karyawanya. Sekitar 200 buruh bagian pabrik roti yang tergabung dalam Gabungan Serikat Pekerja PT Sara Lee Indonesia, menggelar aksi mogok kerja di halaman pabrik, Jalan Raya Bogor Km 27 Jakarta Timur, Rabu (19/11/10).
Aksi mogok kerja ini, ternyata tidak hanya di Jakarta namun serentak di seluruh distributor Sara Lee se-Indonesia. Bahkan, buruh yang ada di daerah mengirim ‘utusan’ ke Jakarta untuk memperkuat tuntutannya. Utusan itu bukan orang, namun berupa spanduk dari Sara Lee yang dikirim dari beberapa daerah.
Dalam aksinya di depan pabrik, para buruh yang mayoritas perempuan ini membentangkan spanduk berisikan tuntutan kesejahteraan kepada manajemen perusahaan yang berbasis di Chicago Sara Lee Corporation dan beroperasi di 58 negara, pasar merek produk di hampir 200 negara serta memiliki 137.000 karyawan di seluruh dunia.
Dengan mengenakan kaos putih dan ikat merah di kepalanya. Buruh merentangkan belasan spanduk, di antaranya bertuliskan: “Kami bukan sapi perahan, usir kapitalis”, “Rp 16 triliun, Bagian kami mana?”, “Jangan lupa karyawan bagian dari aset perusahaan juga.” “Kami Minta 7 Paket”, “Perusahaan Sara Lee Besar Kok Ngasih Kesejahteraan Kecil” juga tuntutan lain tentang kesejahteraan dan gaji yang rendah.
Spanduk juga terpasang di pagar pabrik Sara Lee, juga ada sehelai kain berisi tanda tangan para pekerja dan 12 poster yang mewakili suara masing-masing tim dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Banyuwangi, Medan, Makassar, Denpasar, Jember, Surabaya, Madiun, Kediri, Gorontalo, Samarinda, Lombok dan Aceh.
Poster dari Surabaya GT tertera beberapa kalimat yang berbunyi: “Kami tidak akan berhenti mogok, sebelum kalian penuhi tuntutan buruh, penjahat aja tahu balas budi, kalian?” Juga poster dari Tim Banyuwangi menyuarakan: “Kedatangan kami bukan untuk berdebat, kami datang untuk meminta hak kami, jangan bersembunyi di belakang UU, dan jangan ambil jatah kami, ayo bicaralah untuk Indonesia.”
“Kami terpaksa mogok karena jalan berunding sudah buntu dari pertemuan tripartit antara manajemen perusahaan dengan serikat pekerja. Banyak tuntutan yang kami ajukan mulai kesejahteraan, peningkatan jumlah pesangon dan kompensasi dari manajemen,” ungkap seorang buruh wanita yang enggan disebut namanya.
Buruh takut menyebut nama, sebab manajemen perusahaan akan terus melakukan intimidasi yang menyakitkan. “Ini aksi dalam jumlah yang kecil, dan menggerakan lebih besar dan sering melancarkan aksi, jika tuntutan kami tak dikabulkan,” sambungnya.
Perwakilan manajemen sempat mengimbau peserta aksi mogok untuk kembali bekerja melalui pengeras suara, namun ditolak oleh pekerja. Hingga kini aksi buruh terus bertambah sebab karyawan dari distributor Jakarta, Bogor, Tanggeran, Depok dan Bekasi satu persatu memperkuat aksinya itu.
Buruh lainnya mengatakan kasus ini bermula dari penjualan saham Sara Lee dijual kepada perusahaan besar. Ternyata, perusahaan baru itu Setelah enggan menerima karyawan lain, sehingga nasib karyawan menjadi terkatung-katung. Bahkan, memutus hubungan kerja seenaknya saja. Buruh pun aktif demo.
Sara Lee merasa malu dengan aksi yang mencoreng perusahaan raksasa inim sehingga siap melakukan perundingan tripartit. Sayangnya, hingga kini belum ada kesepakatan karena manajemen perusahaan memberikan nilai pesangon yang sangat rendah, tak sesuai pengabdian karyawan.

Cara Penyelesaian :
Menurut saya, Manajemen PT. Saralee harus berunding terlebih dahulu dengan para buruh agar menemui suatu titik kesepakatan. Jika PT. Saralee tidak memperoleh laba yang ia targetkan, seharusnya ia dapat mengambil kebijaksanaan yang tidak membuat salah satu pihak rugi akan hal ini. Perundingan secara kekeluargaan adalah satu-satunya solusi yang dapat meredam demo. Jika demo terus terjadi, pihak Saralee malah akan mengalami kerugian yang lebih besar lagi, karena jika kegiatan operasional tidak berjalan seperti biasa, laba pun tidak akan didapatkan oleh PT.Saralee

Sumber :

https://dekafnurman.wordpress.com/2013/06/06/aspek-hukum-dalam-ekonomi-contoh-kasus/